Akhir Oktober 2011, dalam sebuah perjalanan sepulang dari Metropolutan dalam gerbong kereta kelas ekonomi. Tercetus ide dari para bujang, Andi Getta Prayudha (Gitar), Julius Didit Setyawan (Lead Gitar/Latar Vokal) dan juga Alta Karka (Vokal/Cajon). Mereka adalah Pathetic Waltz dari Surakarta.
Berbincang-bincang ringan diantara sesak udara panas, suara bising mesin kereta, dan juga lelah dalam paket celoteh pedagang asongan. Ingin menuangkan dalam nada-nada, tentang unsur-unsur kehidupan yang penuh dengan kekonyolan, penuh pertengkaran, basa-basi, kepiluan dan juga keterasingan dari merah muda. Lantas diambillah sebuah nama “Pathetic Waltz“ yang diadopsi dari sebuah judul lagu milik Pure Saturday. (Dari situs Pathetic Waltz)
Desember tahun 2011 lalu, mereka mulai merekam lagu mereka yang pertama, berjudul “Waiting Room” secara home recording dan studio. Seluruhnya dengan cara multitrack dan dikerjakan dalam satu bulan setengah untuk penggarapan dari persiapan materi hingga mixing. Mixingpun dilakukan dengan mandiri dan sederhana di sebuah ruang yang juga sederhana pula.
Ketakutan sederhana dan skill yang apa adanya, dijadikan jalan menuju ruang untuk menuangkan corak warna-warni dunia dalam kanvas Pop. Dengan bilur-bilur nuansa folk, akustik gitar yang sarat akan kesederhanaan dan juga vokal ceria yang menyembunyikan lukanya. (Dari situs Pathetic Waltz)
Distribusi single ini dilakukan melalui media di dunia maya secara independen. Mengingat potensi yang ada sekarang ini, maka Pathetic Waltz juga membuat websitenya sendiri di www.patheticwaltz.com yang diperuntukkan dalam hal menulis dan juga streaming lagu serta update informasi lainnya.
Single ini sendiri bercerita tentang sebuah ruang sapihan dengan segala dekorasinya, yang mana kami bahkan kita semua sebagai manusia menjadi pengisi dalam ruang ini “Tentang ruang dan pengisi ruang. Dalam ruang ini kami berbincang dan minum teh bersama, menyepakati suatu hal tentang sebuah luka, luka yang kami pikir telah menyembunyikan perihnya. Luka yang kami enggan untuk memperdulikannya,” tutur Andi Getta.
Memang menyatakan kejujuran yang paling murni adalah sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan. Apalagi kejujuran tersebut terkait tentang keseimbangan antara kebahagiaan dan kepiluan. Keduanya memang saling bertolak belakang seperti dua sisi mata uang. “Namun kita menyadari kedua hal tersebut adalah hal yang tak mungkin dapat kita hindari. Keduanya adalah jurang yang pasti kita temui dalam sebuah perjalanan. Begitu halnya dalam single Waiting Room yang bercerita tentang ruang secara realita,” tambah Julius Didit.
Saat ini, Pathetic Waltz diibaratkan seperti seorang pendaki yang memulai melangkahkan kaki kecilnya dari satu langkah ke langkah yang lain, dari satu dasar ke ketinggian berikutnya. “Tanpa harus kami bahkan kita semua menghamburkan pilu, ada hal yang membahagiakan di setiap sudut ruang tunggu,” imbuh Alta Karka.
One Reply to “Pathetic Waltz: single Waiting Room”