Sudah sebegitu parahkah kita sampai-sampai untuk menyampaikan hal yang emosional harus diwakilkan pada sesosok robot? Yak, betul. Memang terdengar ironis. Robot yang ‘seharusnya’ tidak memiliki emosi malah justru mampu memicu sisi sensitif kita.
Siapa yang ga terharu melihat kisah cinta WALL∙E dan EVE? Kali ini pun terjadi di Real Steel. Tersangka utamanya adalah sebongkah robot setinggi 2,5 meter bernama Atom. Pada beberapa adegan yang melibatkan Atom, tanpa disadari saya mbrebes mili. Padahal Atom ini ga punya muka lohh… Hanya memiliki wajah hitam kelam yang diterangi sepasang mata lampu yang berwarna hijau. Namun entah kenapa saya bisa merasakan ‘emosi’ Atom.
Secara garis besar kisah Real Steel berpusat di diri Charlie Kenton (Hugh Jackman), seorang mantan petinju profesional yang saat ini mencari nafkah sebagai ‘pawang’ robot yang menggantikan peran manusia dalam bertinju.
Di saat bangkrut dan dikejar-kejar penagih utang, ia justru memperoleh ‘warisan’ tak terduga dari mantan istrinya yang baru saja meninggal, yaitu seorang anak lelaki berumur 11 tahun. Si anak, Max (Dakota Goyo yang kadang-kadang terlihat overacting), ngotot ingin mengikuti ayahnya yang berkeliling dari kota ke kota untuk menawarkan jasa robot petarungnya.
Alur selanjutnya sih sudah ketebak. Selama perjalanan ini Charlie dan Max berproses memahami satu sama lain. Sekilas plotnya mirip dengan Over the Top (1987) yang dibintangi Sylvester Stallone. Kalo di film ini Stallone berprofesi sebagai arm wrestler (adu panco).
‘Bonus utama’ film ini tentu saja pertarungan tinju nan brutal antar para robot yang disajikan lewat CGI secara halus, riil, dan tidak berlebihan.
Jadi, apakah Atom memiliki emosi?
Atau tidak?